5/01/2015

Halal-Haram Asuransi (2)



Memang perdebatan halal-haramnya asuransi sudah lama terjadi, dan sebagai alternatif solusinya muncullah asuransi syariah. 
Salah satu perbedaan antara asuransi konvensional dengan asuransi syariah terletak pada definisinya. Jika asuransi konvensional mengartikan asuransi sebagai transfer risiko (risks transfer), maka asuransi syariah menggunakan berbagi risiko (risks sharing).
Mari kita lihat.
Sebenarnya konsep yang digunakan asuransi syariah tidak terlepas dari konsep asuransi konvensional, contohnya konsep risks sharing yang malah sesuai dengan prinsip asuransi pada umumnya yaitu Prinsip Kontribusi. Memang prinsip ini biasanya berlaku apabila tertanggung punya lebih dari satu polis dengan objek asuransi yang sama. Tapi pada dasarnya prinsip ini bicara mengenai bagi-bagi risiko sehingga tertanggung tidak bisa mengambil keuntungan dari asuransi. 
Contoh lain adalah pada saat terjadi klaim; meskipun tertanggung belum bayar premi (masih dalam grace period / waktu tenggang), tertanggung masih bisa mendapatkan manfaat klaim asalkan bayar preminya dulu. Risks sharing (tanggung renteng) sudah jelas menegaskan darimana asal dana pembayaran klaim, sehingga, baik pada asuransi konvensional maupun syariah dana klaim berasal dari premi tertanggung yang lain. Kita juga harus ingat bahwa semua risiko itu disebar oleh penanggung bukan hanya pada ratusan tertanggung, tapi puluhan juta tertanggung yang tersebar di berbagai daerah. Di sini asuransi juga memakai hukum bilangan besar dimana semakin banyak risiko yang ditutup maka semakin sedikit kerugian yang muncul.
Lalu, bagaimana dengan prinsip mudharobah (bagi hasil) yang tidak ada pada asuransi konvensional (premi hangus)?
Mungkin bagi sebagian orang logika 'menyewa satpam' tidak cocok, tapi menurut saya untuk kasus ini sesuai; satpam tidak perlu mengembalikan gajinya jika tidak ada pencurian. Dan dalam praktiknya perusahaan asuransi adalah lebih dari sekedar satpam. Perusahaan asuransi adalah manajer risiko, yang menganjurkan syarat-syarat dalam bentuk warranty atau yang lainnya supaya tertanggung merasa aman dengan propertinya. Kita bisa simpulkan bahwa bentuk proteksi kepada tertanggung itu sebenarnya bukan (hanya) klaim, namun juga nasihat dan rekomendasi dari penanggung. Dengan demikian, maka tidak masalah penanggung mengambil untung dari transaksi ini (kembali ke niat awal, hehe). Apalagi premi dalam asuransi kerugian relatif kecil. Misalnya, asuransi kebakaran yang suku preminya 0.5%0 (per 1000) dari jumlah nilai pertanggungan (total aset). Maka untuk sebuah rumah seharga Rp 200 juta, tertanggung hanya membayar Rp 200 ribu per tahun!

Oke, baiklah sebagian premi untuk manajemen risiko, tapi bagaimana dengan bagian lain? Bagaimana jika saya tidak memperpanjang polisnya, apakah sebagian preminya masih akan kembali?
Untuk menjawabnya akan lebih mudah jika Anda sudah menggunakan asuransi syariah karena ada akad (bagi-hasil) di awal. Tapi bagaimana dengan asuransi konvensional?
Menurut saya, semuanya tergantung dari niat awal. Jika asuransi konvensional didirikan untuk profit, maka tidak dengan Anda yang berasuransi untuk proteksi dan berbagi risiko (tolong menolong), sehingga sebagian premi Anda yang tidak kembali bisa Anda niatkan sebagai sedekah.
Saya pikir pada dasarnya semua prinsip dalam asuransi kerugian bermaksud baik. Meski demikian, kita juga harus menyadari bahwa banyaknya perusahaan asuransi yang dimiliki non-muslim sangat memengaruhi praktik dan persepsi kita akan asuransi. Tapi setidaknya kita bisa bernafas lega dengan adanya asuransi syariah.
Btw, kenapa ya, banyak yang mendebat halal-haram asuransi, tapi jarang ada yang mempermasalahkan jaminan (garansi) suatu perusahaan pada produknya. Bukankah ini juga salah satu contoh penerapan asuransi?



No comments :

Post a Comment