Memang perdebatan halal-haramnya
asuransi sudah lama terjadi, dan sebagai alternatif solusinya muncullah
asuransi syariah.
Salah
satu perbedaan antara asuransi konvensional dengan asuransi syariah terletak
pada definisinya. Jika asuransi konvensional mengartikan asuransi sebagai
transfer risiko (risks transfer), maka asuransi syariah menggunakan
berbagi risiko (risks sharing).
Mari
kita lihat.
Sebenarnya
konsep yang digunakan asuransi syariah tidak terlepas dari konsep asuransi
konvensional, contohnya konsep risks
sharing yang malah sesuai
dengan prinsip asuransi pada umumnya yaitu Prinsip Kontribusi. Memang prinsip
ini biasanya berlaku apabila tertanggung punya lebih dari satu polis dengan
objek asuransi yang sama. Tapi pada dasarnya prinsip ini bicara mengenai
bagi-bagi risiko sehingga tertanggung tidak bisa mengambil keuntungan dari
asuransi.
Contoh
lain adalah pada saat terjadi klaim; meskipun tertanggung belum bayar premi
(masih dalam grace period / waktu
tenggang), tertanggung masih bisa mendapatkan manfaat klaim asalkan bayar
preminya dulu. Risks
sharing (tanggung renteng)
sudah jelas menegaskan darimana asal dana pembayaran klaim, sehingga, baik pada
asuransi konvensional maupun syariah dana klaim berasal dari premi tertanggung
yang lain. Kita juga harus ingat bahwa semua risiko itu
disebar oleh penanggung bukan hanya pada ratusan tertanggung, tapi puluhan juta tertanggung yang tersebar di berbagai daerah. Di sini asuransi juga memakai hukum bilangan besar dimana
semakin banyak risiko yang ditutup maka semakin sedikit kerugian yang muncul.
Lalu,
bagaimana dengan prinsip mudharobah (bagi hasil) yang tidak ada pada
asuransi konvensional (premi hangus)?
Mungkin
bagi sebagian orang logika 'menyewa satpam' tidak cocok, tapi menurut saya
untuk kasus ini sesuai; satpam tidak perlu mengembalikan gajinya jika tidak ada
pencurian. Dan dalam praktiknya perusahaan asuransi adalah lebih dari sekedar
satpam. Perusahaan asuransi adalah manajer risiko, yang menganjurkan
syarat-syarat dalam bentuk warranty atau yang lainnya supaya tertanggung
merasa aman dengan propertinya. Kita bisa simpulkan bahwa bentuk proteksi
kepada tertanggung itu sebenarnya bukan (hanya) klaim, namun juga nasihat dan
rekomendasi dari penanggung. Dengan demikian, maka tidak masalah penanggung
mengambil untung dari transaksi ini (kembali ke niat awal, hehe). Apalagi premi
dalam asuransi kerugian relatif kecil. Misalnya, asuransi kebakaran yang suku
preminya 0.5%0 (per 1000) dari jumlah nilai pertanggungan (total aset). Maka
untuk sebuah rumah seharga Rp 200 juta, tertanggung hanya membayar Rp 200 ribu
per tahun!
Oke,
baiklah sebagian premi untuk manajemen risiko, tapi bagaimana dengan bagian
lain? Bagaimana jika saya tidak memperpanjang polisnya, apakah sebagian
preminya masih akan kembali?
Untuk
menjawabnya akan lebih mudah jika Anda sudah menggunakan asuransi syariah
karena ada akad (bagi-hasil) di awal. Tapi bagaimana dengan asuransi
konvensional?
Menurut
saya, semuanya tergantung dari niat awal. Jika asuransi konvensional didirikan
untuk profit, maka tidak dengan Anda yang berasuransi untuk proteksi dan
berbagi risiko (tolong menolong), sehingga sebagian premi Anda yang tidak
kembali bisa Anda niatkan sebagai sedekah.
Saya
pikir pada dasarnya semua prinsip dalam asuransi kerugian bermaksud baik. Meski
demikian, kita juga harus menyadari bahwa banyaknya perusahaan asuransi yang
dimiliki non-muslim sangat memengaruhi praktik dan persepsi kita akan asuransi.
Tapi setidaknya kita bisa bernafas lega dengan adanya asuransi syariah.
Btw, kenapa ya, banyak yang mendebat
halal-haram asuransi, tapi jarang ada yang
mempermasalahkan jaminan (garansi) suatu perusahaan pada produknya. Bukankah
ini juga salah satu contoh penerapan asuransi?



No comments :
Post a Comment